REVIEW : The Lone Ranger
So everybody might know ‘The Lone Ranger’. But who ‘The Lone Ranger’ really is, itu belum tentu. No wonder, karakter legendaris mirip kisah-kisah superhero tentang texas ranger penegak keadilan di era old west bersama sidekick sekaligus mentor dan sahabatnya, seorang Indian bernama Tonto ini memang sudah tergolong sangat tua umurnya. Lahir dari radio show tahun ‘30an dari dua penulis Fran Striker dan George W. Trendie (juga menulis ‘The Green Hornet’ yang dalam garis darahnya merupakan keponakan karakter ini), ‘The Lone Ranger’ sudah berkembang sebagai popular culture di seluruh dunia. Kiprahnya berlanjut ke serial TV yang juga dulu sekali sempat ditayangkan TVRI, komik, novel, videogames, other merchandises serta tiga film bioskop ; dua merupakan versi panjang serial teve-nya yang dibintangi Clayton Moore dan satu di tahun 1981, ‘Legend Of The Lone Ranger’ (disutradarai William A. Fraker) yang dibantai habis oleh kritikus dengan seabrek kontroversi, dari tuntutan Clayton Moore yang dilarang menjual imej karakternya hingga Razzie Awards untuk pemeran debutan Klinton Spilsbury, yang tak akan pernah bisa kita dengar versi asli dialognya setelah di-dub keseluruhan oleh James Keach, berbuntut karirnya yang anjlok drastis termasuk flop gede-gedean di box office.
Lama setelah itu, serial TV
barunya sempat diproduksi tahun 2003 tanpa kedengaran gaungnya, hilang
begitu saja, hingga akhirnya perpindahan rights dari beberapa studio jatuh ke tangan Jerry Bruckheimer dan Walt Disney Studios. Dengan konsep berani, memasang Johnny Depp sebagai Tonto hingga jelas-jelas menggeser ‘The Lone Ranger’ sebagai karakter utamanya yang akhirnya jatuh ke tangan Armie Hammer, aktor muda yang dikenal lewat supporting role di ‘The Social Network’ dan ‘J. Edgar’.
Perilisannya pun sempat tertunda beberapa kali dengan proses panjang
termasuk gonta-ganti kandidat sutradara sampai akhirnya dipastikan
sebagai salah satu blockbuster di pertarungan summer movies tahun ini. Meski mereka tetap berhadapan dengan resiko waktu terlalu panjang untuk resurrection-nya, berikut juga ke background genre western yang tak lagi populer sekarang ini, tapi tanpa bisa dipungkiri, star factor dari Johnny Depp mungkin masih sangat bisa menjual.
And from the trailers, dari jauh-jauh hari kita sudah tahu bahwa Disney dan Bruckheimer memang kelihatan sengaja menjual Jack Sparrow’s traces dalam performa Depp untuk meningkatkan faktor excitement-nya. Hasilnya, ‘The Lone Ranger’ lagi-lagi dibantai habis oleh caci-maki kritikus luar hingga menghancurkan perolehan box office di awal peredarannya. But is it that bad? Despite US audience
yang memang masih terlalu mengikuti anggapan kritikus, sebandingkah
hujatan itu terhadap respon penonton kita dan beberapa negara Asia lain
yang kenyataannya tetap antusias dengan atmosfer fun yang cukup heboh di hall-hall yang memutarnya? You should experience it yourself, then.
‘The Lone Ranger’ dimulai dari sebuah sirkus di San Francisco tahun ‘30an, saat seorang anak bernama Will (Mason Cook) yang memakai kostumnya mengunjungi Wild West exhibition. Dari sana, lewat penuturan seorang indian tua Tonto (Johnny Depp), kita dibawa ke tahun 1869, saat-saat dimana legenda ‘The Lone Ranger’ dimulai. John Reid (Armie Hammer), seorang pengacara yang pulang ke Texas untuk mengunjungi kakaknya, Dan Reid (James Badge Dale), seorang ranger yang sudah menikah dengan mantan kekasih masa kecil John, Rebecca (Ruth Wilson) dengan seorang anak bernama Danny (Bryant Prince),
terjebak dalam sebuah pembajakan di kereta yang tengah ditumpanginya.
Sekelompok bandit itu hendak menyelamatkan gembong penjahat Butch
Cavendish (William Fichtner) yang ditawan bersama Tonto
muda di salah satu gerbongnya. Cavendish melarikan diri, namun Tonto
ditahan kembali oleh John yang langsung direkrut Dan untuk masuk ke
kelompok Texas Ranger bersama lima orang lainnya. Dalam perjalanan mereka bernegosiasi dengan suku Comanche
yang dikabarkan menyerang penduduk pinggiran, Cavendish kembali
menyatroni mereka. John jadi satu-satunya ranger yang tersisa dan
kemudian diselamatkan oleh Tonto setelah menyadari seekor kuda putih
misterius ikut membimbingnya melakukan itu. Menyadari Dan sudah menjadi
korban keganasan Cavendish atas pengkhianatan salah satu ranger, dibalik
prinsip yang berbeda, John mau tak mau bekerjasama dengan Tonto yang
ternyata juga punya misi terhadap gerombolan bandit ini. Ride together to bring justice into town,
menyelamatkan Rebecca dan Danny yang keburu ditawan Cavendish sekaligus
membongkar konspirasi besar yang memicu perang antara tentara
konfederasi dengan suku Comanche dibalik sebuah rencana pembangunan rel
kereta api raksasa.
Plot itu memang tetap berpegang setia pada dasar kisah aslinya, termasuk latar perkenalan John Reid dan Tonto (meski di versi 1981 semua dimulai sejak masa kanak-kanak, beda dengan serial TV-nya) serta menampilkan arch-enemy mereka, Butch Cavendish yang diperankan William Fichtner dengan lipscar mock-up yang mengerikan. Tapi reka ulang pengenalan karakternya yang diracik duo penulis senior Ted Elliott dan Terry Rosio, yang sudah malang-melintang di produksi Disney dan animasi lain termasuk ‘Alladin’ dan ‘Shrek’, serta Bruckheimer dengan franchise ‘National Treasures’ dan ‘Pirates Of The Caribbean’ bersama Justin Haythe (‘The Clearing’, ‘Revolutionary Road’ dan ‘Snitch’ barusan) jelas adalah salah satu dayatarik utama remake atau reboot ini selain star factor-nya.
Tetap dengan style Elliott dan Rosio yang senang meracik aksi dengan bumbu komedi penuh plesetan dan nyeleneh-nya, reka ulang legenda ‘The Lone Ranger’ ini jadi terasa lebih mirip parodi termasuk ke ‘Pirates Of The Caribbean’ dari karakter Tonto yang nyaris sama slenge’an seperti Jack Sparrow. But do note this. Mereka tak lantas hanya menjual sisi komedinya yang sedikit kurangajar termasuk dengan membentur-benturkan historical timeline sesuka hati mereka dalam dialog-dialognya serta menambah karakter germo ala steampunk Red Harrington-nya Helena Bonham Carter
yang punya senjata otomatis di kaki palsu gadingnya. Jauh lebih dari
itu, apa yang mereka lakukan dalam pengenalan ulang-nya adalah dengan
pembalikan sisi pandang yang biasanya berfokus di karakter ‘Lone Ranger’. Hampir mirip seperti apa yang dilakukan J.J. Abrams dalam reboot ‘Star Trek’ antara Captain Kirk dan Spock, walau tanpa gimmick time travels, mereka kini memindahkan universe-nya lewat POV Tonto, tapi tetap dengan penghormatan tinggi ke esensi yang selama ini sudah membangun kisah aslinya berpuluh-puluh tahun.
Walau sebagian besarnya diplesetkan, dari karakter-karakter pentingnya, famous catchphrases ‘Kemosabe’ (originally means trusted friend dari native American language), ‘Hi-Yo, Silver! Away!’ yang mendapat plesetan gila bersama sentilan arti kata Tonto in Spanish language, kesaktian kuda Silver, silver bullets dan keteguhan never shoots to kill ‘Lone Ranger’ yang ikonik hingga detil-detil kecil seperti topeng dari rompi kulit Dan Reid hingga pocket watches yang jadi bagian penting di banyak kisah ‘Lone Ranger’ ikut jadi bagian krusial dalam membesut konsep baru pengembangan karakter yang kini hampir semua berpindah fokus ke Tonto. Bahkan theme song legendaris ‘Lone Ranger’, part finale dari ‘William Tell Overture’ dari ‘Opera William Tell’ karya komponis Gioachinno Rossini tetap dimunculkan sebagai teaser yang meyakinkan di awal sebelum digeber di sepanjang klimaksnya yang tampil luarbiasa seru, filled with fun and total sheer excitement.
Oke, Tentang durasi 150 menitnya, it might be overlong to some berikut punya nuansa storytelling unik yang berpotensi mengganggu pace-nya
dengan kesan tontonan belia yang jomplang dengan sedikit unsur
kesadisannya, namun merujuk ke versi 1981 yang diembel-embeli judul ‘Legend’ tanpa atmosfer legend yang terasa, storytelling Gore Verbinski itu justru membangun penekanan magical sides sebuah legend dengan jempolan lewat penokohan Will yang selalu curious. Reminding us to pass it through generations, lengkap bersama mocking-mocking kecil ke cinematic trend yang ada sekarang. ‘What’s with the mask?’, ‘How did you got this and that?’ or ‘You haven’t told me about bla bla bla’, hingga sebuah clue kecil di mid credit stingers ke keseluruhan end credits-nya.
Apart from that, ‘The Lone Ranger’ juga masih menyimpan seabrek keunggulan lain. Komedinya yang digagas persis seperti ‘Pirates’ namun ditambah lagi dengan style film-film Buster Keaton, salah satu keunggulan Depp, hingga film hingga animasi komedi berlatar old west nyeleneh lain termasuk ‘Roadrunner‘. Perpaduan komedi dan aksi spektakuler bertabur efek melebihi klimaks instalmen paling seru ‘Pirates Of The Caribbean’ di ‘Dead Men’s Chest’. Sinematografi Bojan Bazelli yang biasa bekerja di film-film Abel Ferrara hingga ‘Mr & Mrs Smith’ dan ‘Rock Of Ages’ juga merekam nuansa old west itu dengan megah. Dan jangan lupakan scoring Hans Zimmer yang masuk di saat-saat terakhir menggantikan Jack White. Ah, if only the people behind ‘Man Of Steel’ membiarkannya meracik ulang ‘Superman March’-nya John Williams seperti Zimmer memadukan scoring barunya dengan ‘Wiiliam Tell Overture’ disini.
Lantas yang terakhir, tentu saja star factor-nya. Pemilihan aktor yang tak sebesar Johnny Depp untuk memerankan John Reid jelas sudah terjawab dengan tegas. Bukan hanya karena di kisah aslinya ‘Lone Ranger’ memang dibentuk oleh Tonto yang notabene biasanya menjadi sidekick, namun reka ulang pengenalan karakter itu memang digagas lewat approach ke sisi pandang Tonto secara berbeda. Armie Hammer, meski tak sesempurna sosok Klinton Spilsbury di versi 1981, physically dengan kostum baru serba hitam bukan biru ditambah tampilan non-klimisnya, menampilkan chemistry sangat kompak dengan Depp di tengah their love and hate relationships serta juga menerjemahkan turnover karakterisasinya dengan juara. William Fichtner tampil cukup mengerikan sebagai Butch Cavendish, dan masih ada Helena Bonham Carter, Barry Pepper, the rising James Badge Dale yang dalam waktu singkat sudah muncul di tiga summer blockbusters dan aktor senior Tom Wilkinson yang masing-masing bisa mencuri perhatian dengan karakter mereka.
So yes, unless you can’t take Depp’s Tonto in many Jack Sparrow’s persona atau tak pernah merasa nyaman dengan pameran boom-bang spektakuler yang dipadukan bersama komedi nyeleneh penuh plesetan, you can take a stand with most critics yang mencaci-maki ‘The Lone Ranger’ sedemikian parah. But for the rest, apalagi yang mengenal lebih universe karakter legendaris ini, trust me on this. You’ll have never a dull moment. Apa yang dilakukan Disney, Bruckheimer, Verbinski bersama timnya adalah sebuah nostalgia penuh homage luarbiasa dengan pemaparan baru yang unik. Sedikit kurangajar memang, but without ever losing the heart of its legendary essence. Silahkan tentukan pilihan Anda. Stand
aside with most criticism, or feel the outloud cheering with others to
this fun-filled summer’s pure excitement! Ride the fun wild west! Hi-Yo, Silver! Away!!
sumber : http://danieldokter.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar